(oleh Anis Matta)

Cinta misi hanya bersemi dari nurani yang hidup. Tapi dari manakah nurani kita menemukan kehidupan? Dari cinta Allâh dan cinta kebenaran. Inilah cintanya cinta. Denyut kehidupan nurani adalah tanda-tandanya. Cinta misi adalah buahnya.

Cerita-cerita keagungan yang kita warisi dari sejarah sesungguhnya merupakan penampakan cinta misi dari waktu ke waktu. Ia mengejawantah pada karya-karya ilmiah para ulama, pada darah dan air mata para syuhada, pada keadilan para pemimpin, pada kasih sayang para du’at, pada kelembutan para guru. Tidak ada karya besar tanpa cinta misi. Itu yang membuat cinta ini jadi teramat agung. Sekaligus rumit. Karena seluruh isinya adalah karya. Adalah kerja. Adalah memberi. Tanpa pernah terpengaruh oleh penerimaan dan penolakan. Penerimaan mungkin menguatkannya. Tapi penolakan tidak mengendurkannya.

Pertanyaannya kemudian muncul di sini.
Dari mana mereka menemukan energi itu?
Apa yang membuat mereka sanggup berkarya dan memberi terus menerus, sementara kadang -atau bahkan sering kali- mereka tidak dipahami atau terabaikan oleh orang-orang yang justru mereka cintai?
Pasti ada rahasia hati yang mereka simpan rapih. Tapi apakah rahasia hati itu?

Kelezatan ruhani!
Itulah rahasianya. Yang mereka cintai sesungguhnya adalah Allâh, adalah kebenaran, adalah misi hidup mereka. Bukan orang, atau benda atau bentuk apapun. Yang mereka rindukan adalah surga yang abadi, adalah bidadari-bidadari yang kelak akan mengitari mereka, adalah pandangan mata pada cahaya wajah Allâh. Bukan pujian dan penerimaan manusia. Manusia hanya medan karya tempat cinta mengejawantah. Maka Allâh memberi mereka kelezatan demi kelezatan setiap kali cinta itu mengejawantah. Kelelahan-kelelahan itu melahirkan kegembiraan ruhani, kelezatan yang melahirkan energi baru untuk terus mengejawantahkan cinta. Seperti orgasme yang kita rasakan pada setiap keintiman fisik, dan mengajak kita untuk mengulangi dan mengulangi, seperti itulah Allâh memberi kelezatan ruhani setiap kali cinta pada-Nya mengejawantah pada cinta misi, setiap kali cinta vertikal itu mengejawantah pada horizon kehidupan manusia. Kelezatan ruhani itulah sumber energinya. Di sana makna-makna penerimaan, keberartian, keterhormatan, keberanian hati, merasuk ke serat-serat jiwa dan melapangkan serta meluaskannya sampai ia tampak bagai karpet merah nan empuk di tengah gurun luas yang tersambung dengan kaki langit.

Itulah kelezatan ruhani yang dirasakan Khalid bin Walid dari kecamuk perang, atau Utsman saat berinfak, atau Umar saat mengantar gandum di tengah malam pada rakyat miskin, atau Sayyid Quthub menjelang digantung. Kelezatan ruhani itu adalah ledakan kegembiraan yang mendengung di cakrawala kesadaran batin kita. Orang-orang tidak menyaksikannya. Tapi mereka merasakan penampakannya. Maka seorang ahli ibadah mengatakan:

“Seandainya para raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam ibadah ini, mereka pasti akan menyiksa kita untuk merampas kelezatan itu.”

( sumber: majalah Tarbawi )